Minggu, 07 Januari 2018

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Dampak perubahan iklim global semakin konkrit pengaruhnya. Pemanasan global (global warming), istilah yang menggambarkan kecenderungan perubahan iklim dunia. Wajar apabila gejala tersebut menjadi sebagian dari dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan publik.  Kecenderungan gejala perubahan iklim global menuntut sikap adaptasi dan mitigasi dalam pengambilan keputusan.  Melahirkan kebijakan yang melarutkan aspek lingkungan dalam implementasinya.

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan sudah semestinya senantiasa terlarut dalam setiap kebijakan pembangunan Kehutanan.  Sehingga pengambilan keputusan publik dapat dipastikan telah mempertimbangkan kelestarian fungsi lingkungan.  Pemerintah telah memulai hal ini dari beberapa tahun yang lampau. Pemerintah pusat dan daereah telah menempatkan kepentingan lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan. Buah dari itu, masyarakat akan menuai kenyamanan dalam iklim mikro.

Keputusan publik di semua sektor pembangunan merupakan sendi-sendi yang sangat menentukan. Kesadaran lingkungan dari aparat cukup menimbulkan rasa tenteram bagi masyarakat. Ini harus dijaga dan terus ditingkatkan.  Kepekaan aparatur dalam memahami lingkungan dengan segala aspeknya adalah modal dasar mewujudkan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan. 

Demikian halnya di sektor kehutanan. Pengurusan hutan dan kehutanan nampak sangat kental dengan muatan lingkungannya. Dalam implementasinya, aparatur kehutanan mampu memadukan antara keahlian teknis dan wawasan lingkungan. Lebih lagi, karena hal itu didorong oleh kepedulian akan kepentingan kemanusiaan.

Meskipun demikian, barangkali masih terdapat PR sebagai permasalahan pada sektor kehutanan dan lingkungan hidup sebagai berikut:
  • Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi hutan dan kaitannya dengan lingkungan hidup.
  • Kasus illegal loging belum dapat dihentikan secara total.  Berbagai operasi dalam rangka pemberantasan illegal loging telah digelar dan mendatangkan hasil tangkapan dan kayu temuan.  Tetapi hal tersebut belum mampu meredam nyali pelaku pembalakan liar. Pohon-pohon hutan pun masih tetap berjatuhan.
  • Penebangan bakau dan perambahan hutan mangrove juga terus berlangsung. Hal mana merupakan ancaman bagi biota laut dan kehidupan pantai.
Apabila dirunut, kita bisa menemukan benang merah penyebab masalah yang mencuat di sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Penyebab sesungguhnya adalah kurangnya  kepekaan dan wawasan lingkungan.  Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi hutan dan lingkungan hidup. Masyarakat dalam tanda kutip. Bisa berarti orang kebanyakan. Namun bisa juga bermakna khusus, yaitu tokoh masyarakat yang memiliki andil mewarnai corak pemerintahan, atau memiliki kapasitas di tengah masyarakatnya.

Permasalahan kehutanan dan lingkungan hidup selalu menjadi sorotan. Pembangunan sektor lain bahkan dituntut agar peduli pada kepentingan lingkungan hidup. Solusi berikut ini barangkali bisa menjadi alternatif bagi penyelesaian masalah di atas:
  • Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai fungsi kawasan hutan dan kaitannya dengan lingkungan hidup.
  • Meningkatkan kepedulian lingkungan (sense of the environment) di kalangan eksekutif dan legislatif.
  • Menguatnya pengawasan terhadap eksistensi kawasan hutan.
Ketiga hal tersebut, kita coba uraikan berikut ini:

Peningkatan kapasitas SDM


1. SDM Aparatur; akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan  pembelajaran, yaitu:

  • Mendorong aparat untuk mengembangkan pengetahuannya di bidang lingkungan.  Hal ini diwujudkan melalui penugasan aparat untuk mengikuti pendidikan S1, S2 dan S3, atau diklat non gelar bidang lingkungan.
  • Menyelenggarakan berbagai kursus dan diklat bagi aparatur.
  • Mendorong dan memfasilitasi terselenggaranya seminar, simposium, sosialisasi, dialog dan kegiatan semacamnya.
  • Mengundang pakar dan praktisi lingkungan sebagai nara sumber dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
  • Mengeluarkan instruksi berkenaan dengan lingkungan.

2. SDM Masyarakat; akan dilakukan melalui program-program berikut:

  • Mendorong dan memfasilitasi terselenggaranya seminar, simposium, sosialisasi, dialog dan kegiatan semacamnya bertemakan penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam, yang terbuka untuk masyarakat.
  • Mendorong media massa cetak maupun elektronik lokal untuk berpartisipasi aktif mengkampanyekan program-program pengelolaan lingkungan.
  • Mengeluarkan instruksi, advokasi, dsb tentang lingkungan kepada masyarakat.
Penegakan Supremasi Hukum Lingkungan
  1. Perda lingkungan dan sumber daya alam;
  2. Pengawasan melekat terhadap pelaksanaan kewajiban pebisnis, masyarakat dan aparat;
  3. Penyuluhan hukum lingkungan kepada masyarakat.


Review Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)

  1. Menjaring pendapat dari pakar dan pemerhati lingkungan;
  2. Melibatkan dan mengakomodir kepentingan masyarakat papan bawah;
  3. Menetapkan kawasan hutan dengan luas minimal 30 % dari laus wilayah suatu daerah.
  4. Menetapkan RTH kota minimal 30 % dari luas wilayah kota;
Penguhujung 2017
Tauhid Abdurrazaq

Sabtu, 06 Januari 2018

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

WCED (World Commission on Environment and Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Hadi, 2005).

Mencermati kedua definisi tersebut, secara eksplisit menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang sangat menghormati hak generasi mendatang atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang layak. Mungkin senada dengan ungkapan yang menyatakan bahwa bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita tetapi titipan anak cucu kita.

Mengaitkan masalah deforestasi dan pencemaran lingkungan, maka jelas bahwa keduanya sangat bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.  Lebih jelas lagi jika kita kaitkan dengan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan yaitu (Mas Achmad Santosa dalam Hadi dan Samekto, 2007):
  1. Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity);
  2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity);
  3. Prinsip pencegahan dini (precautionary);
  4. Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity);
  5. Prinsip internalisasi biaya lingkungan.

Mewujudkan pembangunan berkelanjutan memang cukup sulit, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Berikut beberapa hambatan bagi upaya mewujudkan pembangunan bekelanjutan:

  • Negara kita telah terbebani dengan utang, baik dari Lembaga Keuangan Multinasional (IMF, Bank Asia atau yang lain), bank Dunia ataupun dari Negara lain. Lembaga atau negara tersebut memiliki akses dalam pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.  Negara kita tetap memiliki fungsi kontrol terhadap kinerja mereka, tetapi kenyataanya perusahaan asing tersebut selalu memiliki argumen yang cukup kuat terhadap setiap teknis operasionalnya, bahwa mereka tidak merusak lingkungan. Memang ada kecenderungan bahwa alasan logis masih lebih unggul dari alasan etis.
  • Sistem pasar bebas yang mendorong terjadinya penggunaan sumber daya alam tanpa kendali. 
  • Orientasi peningkatan PAD menjadi corak pemerintahan era desentralisasi.  Menurut Hadi dan Samakto (2007), sampai saat ini kebijakan dan langkah-langkah strategis Pemerintah Kota/Kabupaten belum menampakkan adanya pembaruan menuju ke arah perbaikan lingkungan.  Kusus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan makin nampak pada lima tahun terakhir setelah reformasi.
  • Masih rendahya wawasan dan pemahaman tentang lingkungan hidup di kalangan birokrat.  SDM aparatur yang berkualifikasi di bidang pengelolaan lingkungan masih belum memadai.

Dalam upaya merealisasikan pembangunan berkelanjutan termasuk upaya mengurangi deforestasi dan pencemaran lingkungan, terdapat beberapa peluang berikut:

  • Dukungan dunia internasional dalam mengendalikan gejala pemanasan global yang telah berdampak pada perubahan iklim bumi.
  • Telah tersedianya perangkat hukum positif tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan penjabaran pelaksanaannya.
  • Telah tersedianya berbagai teknologi ramah lingkungan di berbagai negara maju.
  • Tersedianya instrumen pendekatan perlindungan lingkungan hidup, yaitu (Hadi dan Samekto, 2007):  rekayasa sosial berbasis ADA (atur dan awasi): AMDAL, UKL-UPL, baku mutu, pengendalian pencemaran air dan udara, serta limbah B3 dsb; dan rekayasa sosial berbasis ADS (atur diri sendiri): ecolabelling, proper, audit lingkungan dan audit sosial.
Pembaca yang terhormat, demikian diskusi kita kali ini. Semoga bermanfaat, sampai jumpa.  

Medio Desember 2017.

Tauhid Abdurrazaq

TOLITOLI dilanda BANJIR (2)

Pembaca yang budimana, kita bersama lagi pada sesi 2 diskusi seputar banjir kota Tolitoli. Kali ini menjadi tema kita adalah Manajemen Segmen Tengah dan Hulu sebagai Bagian Mitigasi Banjir di Kota Cengkeh Tolitoli.

Pada kondisi vegetasi yang belum terjamah, kejadian hujan yang deras sekalipun tidak menimbulkan perubahan yang siknifikan terhadap volume aliran air sungai. Bahkan pada kawasan hutan perawan (benar-benar belum pernah terusik), derasnya air hujan tidaklah mengeruhkan air sungai.  Fenomena ini secara jelas menunjukkan bahwa curahan hujan yang sampai dipermukaan bumi akan diserapkan ke dalam lapisan tanah.  Infiltrasi masih optimal. Sehingga yang namanya aliran permukaan (run off) sangat sedikit. Hampir tidak ada. Kalau pun ada run off, durasi alirannya relatif singkat. Hal ini karena dalam perjalananya, run off mangalami peresapan ke dalam lapisan tanah. Lalu kemudian volume alirannya kian kecil. Bahkan tidak mencapai sungai.

Daya infiltrasi lantai hutan yang cukup tinggi adalah kondisi yang dibentuk oleh akumulasi bahan organik. Bahan organik dari dedaunan, reranting yang jatuh, kotoran dan jasad hewan yang mati.  Bahan organik yang telah atau sedang terdekomposisi memiliki sifat hidroskofis.  Sifat inilah yang sangat membantu proses peresapan air ke lapisan tanah yang lebih dalam. Sifat hidroskopis inilah yang menghadang run off sehingga sangat sedikit yang mencapai sungai.

Ketika vegetasi atau pepohonan telah dirambah, lebih-lebih lagi jika perambahan tersebut disertai pembakaran. Sampai hari ini, pembakaran masih dipandang masyarakat sebagai cara paling praktis dalam land clearing.  Ini adalah penyebab terjadinya revolusi sistem tangkapan air.  Saat terjadi hujan, butiran air langsung menerpa permukaan tanah. Terpaan langsung butir hujan mengakibatkan rusaknya struktur lapisan tanah permukaan. Struktur tanah mengalami degradasi menjadi partikel lepas dan lebih halus. Hasil penghancuran agregat tanah kemudian menutupi pori pori tanah pada lapisan permukaan (top soil).

Penutupan pori-pori tanah permukaan memperkecil volume bahkan menghilangkan infiltrasi. Hal demikianlah yang menyebabkan tingginya run off.  Jika run off tersebut diasumsikan bermulah dari punggung bukit maka dalam perjalanannya, volumenya akan semakin besar dan semuanya bermuara ke sungai.

Adapun langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukan pada segmen tengah dan hulu, meliputi upaya mitigasi struktural, non struktural dan peran serta masyarakat, di antaranya adalah:
  • Pemberantasan illegal logging.  Upaya pemberantasan pembalakan liar hanya akan efektif jika dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan secara proaktif tiga pilar pembangunan, yaitu pemerintah, swasta dan masyrakat.
  • Rehabilitasi hutan dan lahan pada segmen hulu dan tengah.  Kegiatan ini telah digalakkan melalui berbagai bentuk dan nama kegiatan. Penghijauan, reboisasi, GNRHL, gerakan sejuta pohon, 1 orang 1 pohon, sampai gerakan menanam satu milyar pohon. Kegiatan-kegiatan ini akan bisa menjadi bermanfaat bila masyarakat mengikutinya secara swadaya dan mandiri. 
  • Memfasilitasi masyarakat pada segmen tengah agar melakukan tindakan konservasi tanah dan air dalam praktek budidya tanamannya.
  • Pembinaan kelompok-kelompok tani hutan di sepanjang kawasan hulu dan tengah. Hal ini penting guna menjaga kesinambungan penutupan lahan pada kawasan tersebut.
  • Peningkatan wawasan masyarakat tengah dan hulu akan pentingnya upaya konservasi tanah dan air, guna menjaga stabilitas produktivitas lahan.
Sedangkan pada bagian hilir mash perlu dilakukan hal-hal berikut:
  • Pembebasan sempadan sungai. Ini cukup sulit dilakukan. Pemukiman sudah mengakar di sana. Perlu pendekatan secara hati-hati untuk menhindari konflik kepentingan.
  • Normalisasi sungai melalui pengerukan pada bagian hilir, utamanya sekitar muara.  Sedimentasi pada bagian hilir cukup tinggi sehingga amat berpengaruh terhadap pengurangan debit aliran sungai.
  • Penanaman tanaman penguat talud.  Tanaman di tempatkan pada bagian sisi dalam yang masih merupakan sempadan sungai.
  • Pembangunan talud atau tanggul/tembok penahan di sepanjang sungai pada daerah hilir.
  • Perencanaan dan penyiapan SOP untuk kegiatan tanggap darurat manakala terjadi bencana banjir.
  • Menambah wawasan masyarakat seputar antisipasi dan minimasi resiko banjir.
Demikian, kita akhiri sidang pembaca yang budiman. Semoga bermanfaat.

Medio Desember 2017
Tauhid Abdurrazaq

TOLITOLI dilanda BANJIR (1)

Kejadian bencana banjir di tanah air menunjukkan indikasi kian intensif. Bencana banjir bahkan tercatat sebagai bencana alam terpopuler dalam beberapa tahun terakhir.  Megapolitan Jakarta termasuk salah satu kota yang akrab dengan bencana banjir. Ibu kota R.I. tercatat sebagai kota pelanggan banjir tahunan.  Demikian halnya kota-kota lain di Sulawesi. Daftar kota pelanggan banjir terus bertambah. Di antara kota tersebut adalah Donggala, Palu (sungai  Palu), Buol, Manado, Makassar, Pinrang (sungai Lasape), Luwuk, Palopo (sungai Sabbang), Enrekang (sungai Saddang) dan yang lainnya.

Halnya kota Tolitoli, demikian pula keadaannya. Kota Cengkeh tidak pernah alpa dari sorotan media dalam kolom Bencana Banjir. Setiap tahun mesti terjadi banjir. Bencana banjir telah menjadi momok bagi penduduk kota. Masyarakat kota Tolitoli sudah trauma dengan banjir. 

Bila terjadi hujan deras yang meliputi hulu (DAS) sungai Tuwelei. Minimalnya dua jam. Masyarakat kota mesti panik. Sudah dapat diduga bahwa banjir akan terjadi. Terkhusus di Jl. Anoa dan sekitarnya. Banjir akan menutupi jalan-jalan dan menggenangi areal pemukiman. Bahkan banjir yang terjadi pada awal bulan Ramadhan tahun 2017 ini, disinyalir sebagai banjir terdahsyat dalam 40 tahun terakhir.  Hampir seluruh wilayah kota Tolitoli tergenang banjir. Rumah-rumah di seputaran Jl. Anoa, hanya menyisakan atap-atap rumah yang bisa terlihat. 

Sumber air banjir merupakan akumulasi dari air kiriman dari hulu yang meluapkan sungai Tuweley dan air curahan lokal. Kondisi bisa lebih parah jika aliran air menuju ke laut dihadang oleh pasang naik air laut. Hanya saja, sebab banjir didominasi oleh luapan air sungai Tuweley. Adapun di bagian Selatan Kota, tepatnya di Nopi dan Tambun, banjir datang dari hulu sungai Tambun. Kiriman air dari Batunobotak dan sekitarnya. 

Kejadian bajir di tengah Kota Tolitoli mulai dirasakan sejak tahun 2005. Melihat sumber airnya, banjir tersebut terjadi karena dua sebab.  Sebab pertama banjir kiriman yang berasal dari luapan air sungai Tuwelei. Sebab kedua, banjir lokal yang terjadi karena terperangkapnya air di lantai kota. Lantai kota Tolitoli hampir sama tinggi dengan permukaan laut.

Fenomena banjir, menjadi indikasi bahwa kawasan hutan pada areal tangkapan (catcmen area) sungai Tuwelei telah mengalami kerusakan. Dengan kata lain, vegetasi di DAS Tuwelei sebagai penangkap air curahan tidak berfungsi lagi. Rusaknya vegetasi hutan menyebabkan kian besarnya air yang tidak terserap ke dalam tanah ketika terjadi hujan. Lantai hutan telah kehilangan kemampuan menyerap air hujan. Sehingga suplay air ke dalam tanah semakin menurun. Mata-mata air semakin berkurang. Air hujan sebagian besar langsung mengalir sebagai aliran permukaan (run off)Run off sebagai biang terjadinya banjir, akan menyeret partikel tanah (sedimen) yang dilaluinya. Oleh karena itu pula, tingginya sedimentasi (pendangkalan) di daerah hilir menjadi salah satu indikasi rusaknya vegetasi hutan di daerah hulu atau pada areal resapan. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan cengkeh bisa menjadi jawaban atas semua ini. Lahan kebun cengkeh, nyaris tidak memiliki fungsi konservasi air tanah.

Secara hukum, pemerintah telah melindungi kawasan DAS Tuwelei tersebut dari segala bentuk perambahan. Kawasan hutan dimaksud ditetapkan sebagai cagar alam (CA). Hulu sungai Tuweley termasuk dalam bentangan C.A. Gunung Dako. Namun kebutuhan akan lahan tidak bisa dibendung. Perambahan tetap berlangsung. Alih fungsi hutan. Degradasi. Kawasan cagar alam pun dirambah. Daerah tangkapan air curahan menjadi tidak optimal atau bahkan tidak berfungsi lagi.

Selain Kota Tolitoli, beberapa desa di Kabupaten Tolitoli juga acap dilanda banjir.  Di antaranya luapan sungai Soni yang menimpa Desa Paddumpu, Soni, dan Tampiala. Sungai Maraja yang menimpa Desa Oyom, Salugan dan Lampasio. Sungai Tambun yang menimpa Desa Dakitan, Kelurahan Nalu, Nopi dan Tambun. Beberapa lagi sungai kecil yang selalu meluapkan air di daerah hilirnya setiap terjadi curah hujan yang tinggi.

Meski kejadian-kejadian banjir tersebut menghiasi pemberitaan di media massa, tetapi di sisi lain kasus perambahan kawasan hutan, penambangan liar dan pembalakan liar masih tetap berlanjut. 

Pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli telah menunjukkan keperihatinan yang tinggi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana banjir.  Apalagi dengan mencermati bahwa fenomena banjir semakin sering terjadi, khususnya di Kota Tolitoli sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Kerugian materi yang diderita masyarakat telah mendorong pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit. Bahkan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat pun turun tangan. Milayaran rupiah dibutuhkan untuk sekedar mengurangi kerugian dan penderitaan. Sesungguhnya, berapapun nilai pulus yang kita rogoh dari saku pemerintah, itu adalah konpensasi dari nilai hutan yang rusak. 

Pemerintah telah menurunkan beberapa kegiatan (proyek) penanganan banjir.  Kegiatan dimaksud antara lain berupa pembangunan saluran drainase kota, pembangunan talud, normalisasi aliran sungai, pembebasan dan pelebaran sempadan sungai.

Kegiatan Pembangunan Saluran Drainase ditujukan untuk memecahkan masalah banjir lokal. Beda tinggi antara lantai Kota Tolitoli dengan permukaan laut sangat kecil, sehingga drainase kota tidak dapat berfungsi dengan baik ketika air laut pasang.  Jika air pasang tersebut bertepatan dengan turunnya hujan yang deras, mengakibatkan terkurungnya air larian di tengah-tengah kota.  Air tersebut memenuhi beberapa lokasi yang memang merupakan cekungan.  Topografi cekungan dapat dijumpai di beberapa lokasi yang justru merupakan pusat aktivitas kota. Titik dimaksud antara lain Pasar Bumi Harapan (Pasar Shopping), Malosong, Tolitoli Plaza, dan sepanjang Jln. Usman BinolKampung Jawa, Kantor Camat Baolan dan sekitarnya. Paling mengerikan adalah sekitara Jl. Anoa Tuwelei.

Kegiatan pembangunan drainase ini di arahkan pada sebagian titik-titik rawan genangan tersebut di atas.  Kapasitas saluran ini diperhitungkan mampu menghindarkan terjadinya genangan di tengah-tengah kota.  Dengan asumsi bahwa volume air yang akan ditampung dan dialirkan kurang lebih sama dengan volume genangan banjir saat ini.

Peranan saluran tersebut sangat berarti dalam menunda terjadinya bahaya genangan.  Artinya, sampai pada tingkat tertentu cukuip efektif menghindarkan kota dari genangan air.  Namun, saluran tersebut memiliki kapasitas yang terbatas.  Pada kondisi dimana pasang laut bertemu dengan meningkatnya debit air sungai, maka dipastikan bahwa drainase ini tidak dapat berfungsi sebagai saluran tetapi hanya sebagai penampungan.  Tidak terjadi pergerakan air ke lokasi lain yang lebih rendah.  Sehingga pada kejadian seperti itu, saluran tidak berperan sebagai pengendali banjir.

Gejala-gejala perubahan iklim global memperkuat dugaan bahwa saluran drainase tersebut nantinya tidak mampu menyelesaikan masalah banjir.  Gejala naiknya permukaan air laut serta alih fungsi lahan di daerah hulu merupakan penyebabnya.  Namun yang jelas, saluran drainase tersebut mampu menyelesikan banjir lokal sampai hari ini.

Pelebaran sungai yang tengah dilakukan, normalisasi aliran sungai dan kegiatan lain yang bersinergi, akan kita diskusikan pada halaman lain.

Menjelang November 2017
Tauhid Abdurrazaq




PENCEMARAN LINGKUNGAN

Geliat pembangunan yang dipicu semangat mencapai kuantitas setinggi-tigginya nyaris tidak memberi celah bagi pertimbangan lingkungan. Sebuah perencanaan dan pengambilan keputusan publik yang semata dibangun di atas kepentingan ekonomi, acap kali lalai mengakomodir aspek lingkungan. Fenomena ini menimbulkan akibat buruk, dimana lingkungan terbebani di luar daya dukungnya. Lingkungan terpaksa menampung pencemaran yang kian hari semakin berat.

Kekeliruan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah pemicu eksploitasi sumber daya alam yang boros, tidak berkeadilan serta tidak ramah lingkungan (termasuk mencemari lingkungan).

Kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan semestinya sudah cukup sebagai alat pembelajaran bagi kita.  Berbagai kasus meresahkan yang ditimbulkan oleh terjadinya pencemaran lingkungan. Beberapa tempat telah mengalami krisis air bersih.  Masalahnya bukan karena tidak ada sumber air. Justru sungai   di   tempat tersebut  masih  mengalirkan airnya.  Pokok masalahnya adalah pencemaran. Air sungai tercemar. Sungai sebagai anugerah Allah kepada kita, tak berhingga nilainya. Tapi telah sengaja kita cemari. Kita mungkin tidak tahu berterima kasih. Sungai malah dijadikan tempat pembuangan sampah, buang kotoran, bangkai dan semacamnya.

Padahal, semua kita maklum bahwa air merupakan sumber kehidupan. Tahu juga kalau krisis air bersih adalah bencana besar.  Lalu kenapa kita selaku manusia masih saja tidak memelihara sumber-sumber air yang telah dianugerahkan Allah. Jika krisis air bersih melanda masyarakat yang hidup di sekitar sungai, tentunya ini adalah bencana. Di dalam Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 41, Allah telah mengingatkan: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Sejak dahulu kala, air dipandang sebagai sumber daya alam tak terbatas, sehingga manusia kurang peduli menjaga daya dukungnya. Sungai dijadikan tempat pembuangan akhir. Fenomena ini hampir terjadi di seluruh pelosok negeri tercinta ini.  Padahal kita adalah bangsa yang mengaku cinta tanah air.

Ataukah Ibu Pertiwi ini telah membesarkan anak-anaknya dengan belaian manja yang berlebihan, sehingga ketika dewasa  masih belum mengerti tentang bagaimana memelihara sumber air.  Sejak kecil telah terdidik dengan ketersediaan air yang seakan tanpa batas, sehingga dianggap sumber daya alam yang tidak akan pernah habis.

Mungkin sedikit di antara kita yang berpikir bahwa mungkin saja kita upayakan sungai jernih yang mengalir di tengah-tengah kota.  Justru hal tersebut banyak dipandang sebagai suatu yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin. Air yang mengalir dari hulu menuju muara harus melewati perjalanan yang sangat panjang.  Mustahil melakukan pengawasan pada sepanjang aliran sungai.

Hal yang tidak mungkin di benak kita ternyata terwujud di beberapa daerah. Sebagai contoh adalah Kota Kucing Malaysia, dimana air sungai di kota tersebut benar-benar terpelihara kebersihannya.  Bisa  dibayangkan  bagaimana  bahagianya warga Kota Kucing yang dapat memandang aliran sungai yang jernih, mengalir dengan riak-riak kedamaian, sekaligus dapat menikmati airnya yang sehat dan bersih.

Selain terhadap sumber air, pencemaran terjadi pula terhadap unsur kehidupan lainnya. Tanah dan udara.  Tanah dan udara, khususnya di perkotaan bernasib sama dengan air.  Mengalami pencemaran yang luar biasa.  Masalah pencemaran lingkungan sudah parah dan kompleks. Sehingga penyelesaiannya pun lebih rumit. 

Di antara alternatif yang mungkin ditempuh untuk bisa mengatasi pencemaran lingkungan di antaranya mensinergikan antara bisnis dengan pengendalian lingkungan, pencanangan gerakan nasional anti pencemaran lingkungan, Menggalakkan program pembelajaran kepada masyarakat melalui berbagai pendekatan, Alih Teknologi, dan penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus pencemaran lingkungan.


Medio 2017
Tauhid Abdurrazaq

DEFORESTASI & PERHUTANAN SOSIAL

Besarnya angka kerusakan hutan rata-rata pertahun sangat mengkhawatirkan, yaitu tercepat kedua setelah Brazil.  Rakaryan Sukarjaputra pada Harian Kompas (edisi 14 Desember 2007) dalam Laporan Khusus COP-13 Bali, bahwa degradasi hutan Indonesia antara 1997-2000 mencapai 2,8 juta hektar per tahun.  Namun hasil studi Badan Planologi Kementerian (masih Departemen) Kehutanan bekerja sama dengan University of South Dakota, AS, bahwa tingkat degradasi sebesar 1,08 juta hektar per tahun antara 2001-2005.

Meskipun tampaknya mengalami penurunan, angka 1,08 juta ha/tahun masih merupakan angka degradasi hutan yang cukup tinggi. Jika mau dirata-ratakan angka itu berarti bahwa dalam setiap jam terjadi kerusakan hutan seluas 123,29 hektar.


Pembalakan liar, perambahan hutan untuk pembukaan lahan, serta kebakaran hutan adalah tiga penyebab dominan deforestasi.  Pembalakan liar lebih penting dari dua yang lainnya. Pembalak liar masih terus merajalela di rimba raya, meskipun pemberantasan illegal loging terus dilakukan. 


Sanksi berat bagi pembalak liar yang tertuang dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Illegal Loging dan Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan tidak menciutkan nyali pelaku illegal loging. Kondisi ini menampilkan sebuah fenomena sosial menarik tentang bagaimana liku-liku kehidupan pelaku illegal loging. Dikhawatirkan bahwa terdapat suatu sisi kehidupan mereka yang belum tersentuh oleh pertimbangan logis kita, atau mungkin hanya bisa disentuh oleh pertimbangan kemanusiaan. Siapa sesungguhnya pelaku pembalak liar. Apakah pembalakan liar merupakan kerja individu murni yang sekedar untuk memenuhi isi perut, ataukah merupakan sebuah sindikat kaum berada. Mengapa para pembalak tersebut lebih betah mencari nafkah dengan mesin shinsaw ketimbang pekerjaan lainnya, ataukah mereka tidak memiliki kemampuan di bidang lain untuk menghasilkan uang. Sempatkah  mereka memikirkan bahwa pohon tersebut memerlukan puluhan bahkan ratusan tahun hingga bisa sebesar sekarang ini, bahwa pohon-pohon itu akan habis dan bagaimana kondisi alam jika hutan terbabat habis. Tahukah mereka bahwa perbuatannya telah mengkibatkan banjir di daerah hilir. Sempatkah mereka memikirkan keterkaitan perbuatannya dengan kekurangan air irigasi pertanian di musim kemarau.  Sudahkah mereka tahu bahwa perbuatannya itu melanggar hukum dan akan mendapatkan sanksi yang berat. Masih terlalu banyak pertanyaan yang harus terjawab lebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan publik yang objeknya adalah mereka.


Pemberantasan illegal loging hanya akan efektif jika kita telah mampu memahami seluk beluk kehidupan para pembalak liar.  Mereka adalah sebuah komunitas yang perlu dihargai.  Mereka juga adalah warga negara yang berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka adalah bagian dari makhluk sosial yang memiliki multidimensi kehidupan yang perlu kita pahami. Kita perlu lebih banyak berbaur dengan geliat kehidupan mereka.


Diperlukan sebuah pendekatan komprehensip untuk mengenali berbagai dimensi sosial mereka. Upaya ini jauh lebih penting dari pada mengejar-ngejar mereka di dalam rimba.  Strategi pemerintahan Bapak Presiden Jokowi  untuk memberdayakan masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan melalui skema Perhutanan Sosial (PS) bisa dinilai efektif. Efektif menekan praktek illegal loging bila berjalan dengan baik. Namun ini perlu kerja keras. Pengelolaan hutan berbasis tapak oleh KPH membuat kita lebih optimis. hal ini pun bila didukung oleh teman-teman penyuluh kehutanan di tingkat lapangan. Pemberdayaan tidak bisa lepas dari kegiatan penyuluhan. Tentunya kelompok masyarakat yang diberdayakan meliputi mereka pelaku-pelaku illegal loging. Keterlibatan dalam kelompok diharapkan justru bisa secara pelan-pelan merubah mereka menjadi mitra pemerintah dalam pemberantasan illegal loging.


Kelompok Tani Hutan, LPHD dan KMPM dalam wilayah kelola KPH Gunung Dako, melalui fasilitasi teman-teman Penyuluh Kehutanan telah mengajukan permohonan Izin Pengelolaan PS di Tahun 2017. Terdapat tiga KTH yang mengajukan permohonan IUPHKM, satu LPHD yang mengajukan permohonan IUPHD dan satu KMPM yang mengajukan permohonan kerja sama pengelolaan Jasa Lingkungan berupa Ekowisata Mangrove. Tentunya pada tahun 2018, diharapkan akan semakin banyak lembaga masyarakat yang berminat untuk ikut mengelola kawasan hutan. Pada prinsipnya, pengelolaan hutan melalui skema PS ini bertujuan mewujudkan masyarakat sejahtera dan hutan lestari.   


Medio 2017
Tauhid Abdurrazaq