Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
WCED (World Commission on Environment and
Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan
yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri
(Hadi, 2005).
Mencermati kedua definisi tersebut, secara
eksplisit menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah konsep pembangunan
yang sangat menghormati hak generasi mendatang atas sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang layak. Mungkin senada dengan ungkapan yang menyatakan
bahwa bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita tetapi titipan anak cucu
kita.
Mengaitkan masalah deforestasi dan pencemaran
lingkungan, maka jelas bahwa keduanya sangat bertentangan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan. Lebih jelas
lagi jika kita kaitkan dengan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan
yaitu (Mas Achmad Santosa dalam Hadi dan Samekto, 2007):
- Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity);
- Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity);
- Prinsip pencegahan dini (precautionary);
- Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity);
- Prinsip internalisasi biaya lingkungan.
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan memang
cukup sulit, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Berikut beberapa
hambatan bagi upaya mewujudkan pembangunan bekelanjutan:
- Negara kita telah terbebani dengan utang, baik dari Lembaga Keuangan Multinasional (IMF, Bank Asia atau yang lain), bank Dunia ataupun dari Negara lain. Lembaga atau negara tersebut memiliki akses dalam pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Negara kita tetap memiliki fungsi kontrol terhadap kinerja mereka, tetapi kenyataanya perusahaan asing tersebut selalu memiliki argumen yang cukup kuat terhadap setiap teknis operasionalnya, bahwa mereka tidak merusak lingkungan. Memang ada kecenderungan bahwa alasan logis masih lebih unggul dari alasan etis.
- Sistem pasar bebas yang mendorong terjadinya penggunaan sumber daya alam tanpa kendali.
- Orientasi peningkatan PAD menjadi corak pemerintahan era desentralisasi. Menurut Hadi dan Samakto (2007), sampai saat ini kebijakan dan langkah-langkah strategis Pemerintah Kota/Kabupaten belum menampakkan adanya pembaruan menuju ke arah perbaikan lingkungan. Kusus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan makin nampak pada lima tahun terakhir setelah reformasi.
- Masih rendahya wawasan dan pemahaman tentang lingkungan hidup di kalangan birokrat. SDM aparatur yang berkualifikasi di bidang pengelolaan lingkungan masih belum memadai.
Dalam upaya merealisasikan pembangunan
berkelanjutan termasuk upaya mengurangi deforestasi dan pencemaran lingkungan,
terdapat beberapa peluang berikut:
- Dukungan dunia internasional dalam mengendalikan gejala pemanasan global yang telah berdampak pada perubahan iklim bumi.
- Telah tersedianya perangkat hukum positif tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan penjabaran pelaksanaannya.
- Telah tersedianya berbagai teknologi ramah lingkungan di berbagai negara maju.
- Tersedianya instrumen pendekatan perlindungan lingkungan hidup, yaitu (Hadi dan Samekto, 2007): rekayasa sosial berbasis ADA (atur dan awasi): AMDAL, UKL-UPL, baku mutu, pengendalian pencemaran air dan udara, serta limbah B3 dsb; dan rekayasa sosial berbasis ADS (atur diri sendiri): ecolabelling, proper, audit lingkungan dan audit sosial.
Medio Desember 2017.
Tauhid Abdurrazaq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar