Sabtu, 06 Januari 2018

TOLITOLI dilanda BANJIR (1)

Kejadian bencana banjir di tanah air menunjukkan indikasi kian intensif. Bencana banjir bahkan tercatat sebagai bencana alam terpopuler dalam beberapa tahun terakhir.  Megapolitan Jakarta termasuk salah satu kota yang akrab dengan bencana banjir. Ibu kota R.I. tercatat sebagai kota pelanggan banjir tahunan.  Demikian halnya kota-kota lain di Sulawesi. Daftar kota pelanggan banjir terus bertambah. Di antara kota tersebut adalah Donggala, Palu (sungai  Palu), Buol, Manado, Makassar, Pinrang (sungai Lasape), Luwuk, Palopo (sungai Sabbang), Enrekang (sungai Saddang) dan yang lainnya.

Halnya kota Tolitoli, demikian pula keadaannya. Kota Cengkeh tidak pernah alpa dari sorotan media dalam kolom Bencana Banjir. Setiap tahun mesti terjadi banjir. Bencana banjir telah menjadi momok bagi penduduk kota. Masyarakat kota Tolitoli sudah trauma dengan banjir. 

Bila terjadi hujan deras yang meliputi hulu (DAS) sungai Tuwelei. Minimalnya dua jam. Masyarakat kota mesti panik. Sudah dapat diduga bahwa banjir akan terjadi. Terkhusus di Jl. Anoa dan sekitarnya. Banjir akan menutupi jalan-jalan dan menggenangi areal pemukiman. Bahkan banjir yang terjadi pada awal bulan Ramadhan tahun 2017 ini, disinyalir sebagai banjir terdahsyat dalam 40 tahun terakhir.  Hampir seluruh wilayah kota Tolitoli tergenang banjir. Rumah-rumah di seputaran Jl. Anoa, hanya menyisakan atap-atap rumah yang bisa terlihat. 

Sumber air banjir merupakan akumulasi dari air kiriman dari hulu yang meluapkan sungai Tuweley dan air curahan lokal. Kondisi bisa lebih parah jika aliran air menuju ke laut dihadang oleh pasang naik air laut. Hanya saja, sebab banjir didominasi oleh luapan air sungai Tuweley. Adapun di bagian Selatan Kota, tepatnya di Nopi dan Tambun, banjir datang dari hulu sungai Tambun. Kiriman air dari Batunobotak dan sekitarnya. 

Kejadian bajir di tengah Kota Tolitoli mulai dirasakan sejak tahun 2005. Melihat sumber airnya, banjir tersebut terjadi karena dua sebab.  Sebab pertama banjir kiriman yang berasal dari luapan air sungai Tuwelei. Sebab kedua, banjir lokal yang terjadi karena terperangkapnya air di lantai kota. Lantai kota Tolitoli hampir sama tinggi dengan permukaan laut.

Fenomena banjir, menjadi indikasi bahwa kawasan hutan pada areal tangkapan (catcmen area) sungai Tuwelei telah mengalami kerusakan. Dengan kata lain, vegetasi di DAS Tuwelei sebagai penangkap air curahan tidak berfungsi lagi. Rusaknya vegetasi hutan menyebabkan kian besarnya air yang tidak terserap ke dalam tanah ketika terjadi hujan. Lantai hutan telah kehilangan kemampuan menyerap air hujan. Sehingga suplay air ke dalam tanah semakin menurun. Mata-mata air semakin berkurang. Air hujan sebagian besar langsung mengalir sebagai aliran permukaan (run off)Run off sebagai biang terjadinya banjir, akan menyeret partikel tanah (sedimen) yang dilaluinya. Oleh karena itu pula, tingginya sedimentasi (pendangkalan) di daerah hilir menjadi salah satu indikasi rusaknya vegetasi hutan di daerah hulu atau pada areal resapan. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan cengkeh bisa menjadi jawaban atas semua ini. Lahan kebun cengkeh, nyaris tidak memiliki fungsi konservasi air tanah.

Secara hukum, pemerintah telah melindungi kawasan DAS Tuwelei tersebut dari segala bentuk perambahan. Kawasan hutan dimaksud ditetapkan sebagai cagar alam (CA). Hulu sungai Tuweley termasuk dalam bentangan C.A. Gunung Dako. Namun kebutuhan akan lahan tidak bisa dibendung. Perambahan tetap berlangsung. Alih fungsi hutan. Degradasi. Kawasan cagar alam pun dirambah. Daerah tangkapan air curahan menjadi tidak optimal atau bahkan tidak berfungsi lagi.

Selain Kota Tolitoli, beberapa desa di Kabupaten Tolitoli juga acap dilanda banjir.  Di antaranya luapan sungai Soni yang menimpa Desa Paddumpu, Soni, dan Tampiala. Sungai Maraja yang menimpa Desa Oyom, Salugan dan Lampasio. Sungai Tambun yang menimpa Desa Dakitan, Kelurahan Nalu, Nopi dan Tambun. Beberapa lagi sungai kecil yang selalu meluapkan air di daerah hilirnya setiap terjadi curah hujan yang tinggi.

Meski kejadian-kejadian banjir tersebut menghiasi pemberitaan di media massa, tetapi di sisi lain kasus perambahan kawasan hutan, penambangan liar dan pembalakan liar masih tetap berlanjut. 

Pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli telah menunjukkan keperihatinan yang tinggi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana banjir.  Apalagi dengan mencermati bahwa fenomena banjir semakin sering terjadi, khususnya di Kota Tolitoli sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Kerugian materi yang diderita masyarakat telah mendorong pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit. Bahkan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat pun turun tangan. Milayaran rupiah dibutuhkan untuk sekedar mengurangi kerugian dan penderitaan. Sesungguhnya, berapapun nilai pulus yang kita rogoh dari saku pemerintah, itu adalah konpensasi dari nilai hutan yang rusak. 

Pemerintah telah menurunkan beberapa kegiatan (proyek) penanganan banjir.  Kegiatan dimaksud antara lain berupa pembangunan saluran drainase kota, pembangunan talud, normalisasi aliran sungai, pembebasan dan pelebaran sempadan sungai.

Kegiatan Pembangunan Saluran Drainase ditujukan untuk memecahkan masalah banjir lokal. Beda tinggi antara lantai Kota Tolitoli dengan permukaan laut sangat kecil, sehingga drainase kota tidak dapat berfungsi dengan baik ketika air laut pasang.  Jika air pasang tersebut bertepatan dengan turunnya hujan yang deras, mengakibatkan terkurungnya air larian di tengah-tengah kota.  Air tersebut memenuhi beberapa lokasi yang memang merupakan cekungan.  Topografi cekungan dapat dijumpai di beberapa lokasi yang justru merupakan pusat aktivitas kota. Titik dimaksud antara lain Pasar Bumi Harapan (Pasar Shopping), Malosong, Tolitoli Plaza, dan sepanjang Jln. Usman BinolKampung Jawa, Kantor Camat Baolan dan sekitarnya. Paling mengerikan adalah sekitara Jl. Anoa Tuwelei.

Kegiatan pembangunan drainase ini di arahkan pada sebagian titik-titik rawan genangan tersebut di atas.  Kapasitas saluran ini diperhitungkan mampu menghindarkan terjadinya genangan di tengah-tengah kota.  Dengan asumsi bahwa volume air yang akan ditampung dan dialirkan kurang lebih sama dengan volume genangan banjir saat ini.

Peranan saluran tersebut sangat berarti dalam menunda terjadinya bahaya genangan.  Artinya, sampai pada tingkat tertentu cukuip efektif menghindarkan kota dari genangan air.  Namun, saluran tersebut memiliki kapasitas yang terbatas.  Pada kondisi dimana pasang laut bertemu dengan meningkatnya debit air sungai, maka dipastikan bahwa drainase ini tidak dapat berfungsi sebagai saluran tetapi hanya sebagai penampungan.  Tidak terjadi pergerakan air ke lokasi lain yang lebih rendah.  Sehingga pada kejadian seperti itu, saluran tidak berperan sebagai pengendali banjir.

Gejala-gejala perubahan iklim global memperkuat dugaan bahwa saluran drainase tersebut nantinya tidak mampu menyelesaikan masalah banjir.  Gejala naiknya permukaan air laut serta alih fungsi lahan di daerah hulu merupakan penyebabnya.  Namun yang jelas, saluran drainase tersebut mampu menyelesikan banjir lokal sampai hari ini.

Pelebaran sungai yang tengah dilakukan, normalisasi aliran sungai dan kegiatan lain yang bersinergi, akan kita diskusikan pada halaman lain.

Menjelang November 2017
Tauhid Abdurrazaq




Tidak ada komentar:

Posting Komentar